Antara Ya dan Tidak

Runeka sudah ketahuan selingkuh, kabarpun cepat tersebar sekitar padepokan Tirtamaya. Resi Jamadagni suaminya yang terkenal arif dan bijaksanapun sampai menghela nafas. Perselingkuhan yang dilakukan oleh Renuka ini tidak sekali dua kali, bahkan berkali-kali. Pemicunya adalah karena Jamadagni sudah lanjut usia dan sudah memilih menjadi brahmana, sehingga jatah Renuka berkurang dratis. Apa gunanya sebuah hubungan intim bagi seorang Resi yang berusaha mendekatkan diri dengan kholiknya.

Tidak mau berbelit-belit Resi Jamadagni keturunan bangsa Bregu dan sekaligus mantan raja Maespati ini memanggil saudaranya Kertawirya (ayah dari Arjuna Sasrabahu) untuk dimintai pertimbangan tentang hukum apa yang pantas bagi istrinya. Kertawirya yang bijaksana hanya mengatakan undang-undang yang berlaku saat itu, yaitu bagi pelaku zina, maka tak pantas baginya untuk hidup, alias hukuman pancung. Serasa berat beban yang diterima oleh Resi Jamadagni, antara mempertahankan keluarga dan menegakkan hukum. Mau menjadi manusia taat hukum yang sudah diamini bersama atau membela istrinya.

Kelima anaknyapun dikumpulkan untuk dimintai pertimbangan dan ditanyai satu persatu, siapa yang sanggup melakukan hukuman tersebut. Coba siapa yang tega membunuh ibunya sendiri, yang telah lama mengandungnya, dan memberikannya asi serta mengajarinya mengenal kata dan kehidupan.  Meskipun ibu mereka salah, dan terpidana, mereka tak sanggup melakukannya. Mereka berfikir, hanya orang buta kebajikan dan balas budilah yang mampu melakukan hal tersebut. Resi Jamadagni masih pada pendiriannya, hukuman harus dilakukan dan yang melakukan harus darah dagingnya sendiri, karena dia tidak mau masalah itu melebar jauh ke negara tetangga. Wal hasil, Jamadagni mengutuk keempat anaknya yang sanggup melakukan hukuman menjadi hewan.

Kini tinggal Ramaparasu anak bungsu Jamadagni. Beban moral yang dirasakan kakak-kakaknya juga sangat terasa bagi jiwanya. Secara moral dia menolak, tetapi tak sanggup berkata-kata. Begitu lama dia menentukan sikap antara iya dan tidak, dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya. Hingga akhirnya dia sanggup melakukan hukuman itu dengan meminta 3 persyaratan kepada ayahnya. Resi Jamadagnipun menyanggupi ketiga syarat tersebut, meskipun akan diminta nanti seusai Ramaparasu menjalankan tugas. Merasa mendapatkan jalan, Parasupun berbegas membawa ibunya masuk ke dalam hutan.

Di tengah hutan yang sunyi, Parasu yang badanya kekar dengan senjata kapak ditangannya menangis seperti anak kecil yang haus akan tetek ibunya. Jiwanya tersayat, hatinya berguncang, meskipun dia sanggup, meskipun dia memiliki 3 permintaan. Tetapi ….
dipandanginya wajah sang Ibu yang mengiba, seolah tidak percaya bahwa kematiannya berada di tangan anaknya sendiri. Ramaparasu yang anak ragil yang paling muda, paling kuat, paling perkasa, yang dia dewasakan dari asinya sendiri. Hilang semua angan dan hasrat senggama Renuka.  Air matanya menetes, matanya berbinar, meskipun dia sudah siap untuk pancung.
Ramaparasu serasa lemas, otot dan kekuatannya serasa dilucuti, sehingga berdirinya gemetar, tanganya kaku sambil mengangkat kapak. Dan beban kapak yang berat tak sanggup lagi dia bawa disaat peristiwa yang memilukan seperti itu. Kapakpun bergerak cepat seiring lemas tanganya Parasu, dan ,,,, lengkingan yang menyayat hati melambung keangkasa bersama jatuhnya kapak di leher Renuka. Seketika Parasu melengking memanggil ibunya yang sudah berlumuran darah.

Langkah gontai, lemas dan isak tangis menyertai perjalanan Parasu, sambil memeluk erat kepala ibunya. Dadanya penuh warna merah darah yang mengalir sampai ketelapak kakinya. Parasu yang juga dipanggil Bargawa telah membunuh ibunya sendiri.
Sesampainya di padepokan, segera Bargawa menemui ayahnya yang sedang melakukan meditasi. Sambil tersengal-sengal diapun berkata dan meminta janji ayahnya. Sang ayahpun tak sanggup melihat pemandangan itu, sambil berpaling dia menyuruh anaknya mengatakan permintaannya.
Parasu yang sudah merencanakan semua dan di dorong rasanya yang tersayat, dengan lantang mengatakan ketiga permintaannya.
1. Dia meminta ibunya dihidupkan kembali
2. Dia meminta saudaranya dikembalikan kepada wujud aslinya.
3. Meminta ayahnya untuk memaafkan serta mengijinkan ibunya kembali ke kahyangan.
Jamadagni merangkul anaknya erat, dan mengabulkan ketiga permintaan tersebut sesuai dengan janjinya. Keluarga merekapun kembali bahagia, meskipun Renuka harus kembali ke habitatnya. Sejak saat itu Parasu sangat membenci para ksatria dan dia berjanji akan menumpas para satria. Sampai akhirnya Parasu mendapatkan syurganya di tangan Rama suami Sinta.

Dari cerita tersebut banyak sekali tawaran moralitas yang disampaikan, diantaranya adalah:
1. Kewajiban sebagai istri yang setia dan kebutuhan biologis. Sehingga kesetiaan teruji dan
2. Menegakkan hukum dan menyayangi keluarga. Diantara 2 beban moral yang tinggi, dan tidak banyak orang yang sanggup menanggung beban ini. Contoh sekarang banyak kasus anak polisi yang tertangkap karena narkoba atau miras. Tetapi secara mudah bisa keluar karena ayahnya. Kasus para napi elit yang mendapatkan fasilitas super wah melebihi kamar kos saya. Dan masih banyak lagi lagi lagi dan lagi pokoknya. Timbul pertanyaan, masih relevankah kisah semacam ini di jaman sekarang? Karena banyak dalang menggunakan versi baru yaitu sesampai di hutan Parasu tidak membunuh ibunya, tetapi mendirikan rumah untuk ibunya dan sebagai penggantinya dia membunuh seekor rusa dan darahnya diolehkan ketubuh, sebagai tanda bahwa dia telah membunuh ibunya.

Menurut saya versi sekarang lebih pada pendangkalan karakter Parasu sendiri dan pendangkalan makna hukum bagi sebuah negara yang berdasar hukum. Sudah menjadi konsekuensi negara hukum adalah mentaati semua peraturan yang sudah dibuat bersama. Kalau negara hukum, dan hukum bisa dibeli, bisa dimonopoli bisa di atur sesuai selera penguasa. Maka negara tersebut sudah tentu menjadi negara yang lemah, dan kehilangan jati diri.
Semoga bermanfaat.

Satu pemikiran pada “Antara Ya dan Tidak

Tinggalkan Balasan ke DToilliani Batalkan balasan